Normal Mode
Responsive Mode

Harap Tunggu Proses Memuat Konten Halaman


Minggu, 11 Mei 2014

Satu hari, salah satu murid Abuya as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Gus Najih (KH. Najih Maimoen) pernah diundang mengisi pengajian di sebuah acara hajatan yang digelar seorang Wak Kaji kaya raya di Sarang.

Selesai acara, seperti kebiasaan lumrahnya warga Nahdliyyin, sang shahibul hajat (tuan rumah) menyegat Gus Najih yang telah jumeneng dan miyos akan kundur (hendak pamit pulang). Amplop tebal berisi uang jutaan itu pun diselipkan ke saku beliau. “Nopo niki?” (Apa ini).

“Kersane bah, kersane...” (Mohon diterima Gus).

“Pun, mboten usah, mboten usah...” (Tidak usah), dengan tulus beliau meyakinkan kepada shahibul hajat bahwa beliau tidak berkenan jika shahibul hajat repot-repot untuk “ngamplopi” beliau.

“Kersane bah, niki nyenengne kulo...” (Mohon diterima Gus, demi menyenangkan saya).

Mendengar kalimat ini beliau langsung membuka amplop itu dan mengambil selembar dan berkata: “Pun, pun kulo tampi, ampun katah-katah...” (Sudah, sudah saya terima tak usah banyak-banyak ). Beliau hanya ingin menyenangkan yang “nyangoni” bukan ingin bayaran, apalagi pasang tarif.

Kisah dari salah satu santri Mbah Moen: Muhammad Kanzul Firdaus.


Perihal: Diterbitkan oleh: pada pukul 8:48:00 PM WIB

Baca Pula Artikel Terkait Dalam Kategori: .

Klik tombol "Like" bila Anda suka dengan artikel ini. Silakan poskan komentar agar saya dapat berkunjung balik ke blog Anda. Jika Anda ingin membaca artikel lain dari blog ini, maka silakan klik di sini untuk membuka daftar isi. Harap menyertakan http://batukesel.blogspot.com/2014/05/akhlaq-syaikh-najih-maimun-yang-harus.html?m=0 dan atau mencantumkan tautan untuk artikel ini bila Anda menyalin sebagian dan atau keseluruhan isinya. Terimakasih.